NEW YORK--Linda Sarsour, 31 tahun, masih ingat bagaimana ia merasakan efek dari tragedi 11 September 2001. Saat itu, ia mahasiswa sebuah kampus lokal di Brooklyn. Sarsour tinggal bersama komunitas Arab Amerika di pinggiran, New York.
Ia merupakan generasi Palestina yang lahir di Amerika. Situasi yang mengejutkan menghampirinya setelah serangan teror terjadi. Ia melihat sang ibu tidak lagi mengenakan jilbab. "Bu, mengapa engkau tidak mengenakan jilbab," papar Sonsour. Lalu sang ibu menjawab "Kita tidak bisa mengenakan jilab lagi". Sang ibu segera bergegas menjemput adiknya. "Saya diam seketika," paparnya seperti dikutip guardian.co.uk, Rabu (7/9).
10 tahun berlalu, Sarsour, telah menyelesaikan pendidikannya. Kini, ia menjabat Direktur Arab American Association of New York (AAANY). Ia tetap mengenakan jilbab seperti dahulu. Kenangan pahit seolah terlupakan saat ia bertanggung jawab dalam memberikan bantuan kepada masyarakat yang bermasalah sial imigrasi dan membuat kelas musim panas bagi anak-anak.
"Terlihat normal meski setiap hari chaos," Sarsour says. Ia bergabung dengan AANY tahun 2002 silam. Sarsour diminta untuk menangani ketakutan yang dihadapi masyarakat AS terhadap komunitas Muslim. "Kami sering mendapatkan laporan bahwa setiap Muslim pasti didatangi FBI, NYPD atau petugas imigrasi," katanya.
Sarsour juga mengalami hal serupa. Ia didatangi aparat guna menanyakan sejumlah informasi terkait asal-usul mereka. "Saya telah belajar tentang hal ini dan apa yang terjadi," katanya.
Sarsour mengatakan, apa yang terjadi terhadap komunitasnya sempat dirasakan komunitas lain seperti imigran Yahudi, Irlandia, Italia dan Rusia. Penolakan juga terjadi pada komunitas penganut Katolik Roma. Kejadian serupa juga dialami imigran asal Jepang. "Kini giliran kita, Muslim mengalami prasangka dan tuduhan yang pernah ditujukan kepada komunitas lain," paparnya.
Meski demikian, perlakuan yang dialami Muslim Amerika bukanlah sesuatu yang semestinya terjadi. Sebab, tidak ada keraguan dari kalangan Muslim terkait nasionalisme terhadap bangsa AS. "Itu membuat kami terasa asing ketika saya bukanlah seorang yang asing," katanya.
Yang menjadi kekhawatiran Sarsour adalah bagaimana generasi baru Muslim Amerika siap menyandang gelar komunitas yang ditakuti, diejek, dan tidak dipahami. Tapi Sarsour percaya generasi baru Muslim Amerika akan seperti dirinya, mampu bertahan dalam dua identitas sebagai warga AS dan Muslim.
"Di satu sisi, saya seorang Amerika, sisi lain saya seorang Palestina. Kami tahu apa yang kami inginkan, kami dapatkan apa yang kami inginkan. Tapi sisi Amerika dalam diri membuat saya takut," paparnya.
Sekarang, misi Sarsour tidak hanya meliputi komunitasnya saja. Ia mengharapkan adanya kesetaraan bagi seluruh komunitas berikut dengan keyakinan yang dibawa. "Saya peduli dengan kenyamanan, saya peduli dengan rute bis, saya peduli dengan bisnis kecil, saya peduli dengan sekolah. Itu bukan hanya menyangkut hak seorang Muslim saja, tapi isu semua orang," pungkasnya.//yahoo.com//REPUBLIKA
Ia merupakan generasi Palestina yang lahir di Amerika. Situasi yang mengejutkan menghampirinya setelah serangan teror terjadi. Ia melihat sang ibu tidak lagi mengenakan jilbab. "Bu, mengapa engkau tidak mengenakan jilbab," papar Sonsour. Lalu sang ibu menjawab "Kita tidak bisa mengenakan jilab lagi". Sang ibu segera bergegas menjemput adiknya. "Saya diam seketika," paparnya seperti dikutip guardian.co.uk, Rabu (7/9).
10 tahun berlalu, Sarsour, telah menyelesaikan pendidikannya. Kini, ia menjabat Direktur Arab American Association of New York (AAANY). Ia tetap mengenakan jilbab seperti dahulu. Kenangan pahit seolah terlupakan saat ia bertanggung jawab dalam memberikan bantuan kepada masyarakat yang bermasalah sial imigrasi dan membuat kelas musim panas bagi anak-anak.
"Terlihat normal meski setiap hari chaos," Sarsour says. Ia bergabung dengan AANY tahun 2002 silam. Sarsour diminta untuk menangani ketakutan yang dihadapi masyarakat AS terhadap komunitas Muslim. "Kami sering mendapatkan laporan bahwa setiap Muslim pasti didatangi FBI, NYPD atau petugas imigrasi," katanya.
Sarsour juga mengalami hal serupa. Ia didatangi aparat guna menanyakan sejumlah informasi terkait asal-usul mereka. "Saya telah belajar tentang hal ini dan apa yang terjadi," katanya.
Sarsour mengatakan, apa yang terjadi terhadap komunitasnya sempat dirasakan komunitas lain seperti imigran Yahudi, Irlandia, Italia dan Rusia. Penolakan juga terjadi pada komunitas penganut Katolik Roma. Kejadian serupa juga dialami imigran asal Jepang. "Kini giliran kita, Muslim mengalami prasangka dan tuduhan yang pernah ditujukan kepada komunitas lain," paparnya.
Meski demikian, perlakuan yang dialami Muslim Amerika bukanlah sesuatu yang semestinya terjadi. Sebab, tidak ada keraguan dari kalangan Muslim terkait nasionalisme terhadap bangsa AS. "Itu membuat kami terasa asing ketika saya bukanlah seorang yang asing," katanya.
Yang menjadi kekhawatiran Sarsour adalah bagaimana generasi baru Muslim Amerika siap menyandang gelar komunitas yang ditakuti, diejek, dan tidak dipahami. Tapi Sarsour percaya generasi baru Muslim Amerika akan seperti dirinya, mampu bertahan dalam dua identitas sebagai warga AS dan Muslim.
"Di satu sisi, saya seorang Amerika, sisi lain saya seorang Palestina. Kami tahu apa yang kami inginkan, kami dapatkan apa yang kami inginkan. Tapi sisi Amerika dalam diri membuat saya takut," paparnya.
Sekarang, misi Sarsour tidak hanya meliputi komunitasnya saja. Ia mengharapkan adanya kesetaraan bagi seluruh komunitas berikut dengan keyakinan yang dibawa. "Saya peduli dengan kenyamanan, saya peduli dengan rute bis, saya peduli dengan bisnis kecil, saya peduli dengan sekolah. Itu bukan hanya menyangkut hak seorang Muslim saja, tapi isu semua orang," pungkasnya.//yahoo.com//REPUBLIKA
No comments:
Post a Comment